Booming bio-fuel Eropa bunuh Hutan Indonesia

Senin, 03 Januari 2011

Greenpeace mengindikasikan ancaman berlanjutnya bencana alam yang disebabkan kerusakan hutan di Indonesia. Hal tersebut sehubungan dengan rencana perluasan kawasan perkebunan kelapa sawit hingga merambah kawasan hutan alam demi memenuhi kebutuhan bio-fuel di Uni Eropa. Penandatanganan perjanjian investasi baru untuk mengembangkan bio-fuel di Papua dan Kalimantan merupakan tindak lanjut untuk merespon pasar bio-fuel di Eropa.


"Dengan adanya persetujuan dari pemerintah Indonesia untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit, maka maraknya permintaan dari Uni Eropa dapat menjadi langkah pamungkas untuk membunuh hutan kita yang tersisa. Greenpeace mendukung penggunaan bio-fuel untuk mengurangi emisi gas rumah kaca; namun upaya untuk menyelesaikan salah satu permasalahan lingkungan dengan membunuh hutan Indonesia bukan saja tidak ada gunanya namun juga membahayakan keberlangsungan hidup bangsa Indonesia. Uni Eropa harus membuat aturan yang ketat bagi pasokan bio-fuel, jika tidak, berarti sama saja mereka bertanggung jawab atas pembunuhan seluruh hutan kita," jelas Hapsoro, Juru Kampanye Hutan Regional, Greenpeace Asia Tenggara.



Communication from the Commission to the Council and the European Parliament: Biofuels Progress Report (dikeluarkan tanggal 9 Januari 2007) menyebutkan Indonesia sebagai salah satu negara tempat memproduksi bio-fuel murah melalui pernyataan sebagai berikut: "Demi memperoleh keuntungan terbesar dari segi pemasokan, pilihan bahan baku harus dibuat sebanyak mungkin. Bauran produk (product mix) yang mencakup bio-fuel produksi domestik dan impor dari berbagai negara akan memberikan nilai tambah yang lebih dibandingkan dengan hanya mengandalkan satu yang mempunyai biaya produksi terendah (Brazil - tebu, Malaysia dan Indonesia – minyak sawit)." Sejak tahun 2003, negara-negara Eropa telah bersepakat mencanangkan target penggunaan biofuel sebesar 2% hingga tahun 2005, kemudian meningkat menjadi 5,75% hingga tahun 2010, dan akan terus meningkat sebesar 10% hingga tahun 2020.

Menanggapi pengumuman Uni Eropa bulan ini tentang meningkatnya kebutuhan bio-fuel untuk kebutuhan transportasi, pemerintah Indonesia menandatangani 58 perjanjian kerjasama senilai US $ 12,4 miliar untuk pengembangan bio-fuel. Pengembangan bio-fuel ini terkait dengan satu juta hektar pencadangan kawasan untuk perkebunan di Papua dan Kalimantan. Sejauh ini tidak ada kepastian bahwa rencana ini tidak akan memanfaatkan lahan hutan sebagai salah satu sasaran ekspansi perkebunan sawit dan lain sebagainya, yang pada akhirnya akan semakin memperparah keadaan kondisi hutan.

Indonesia masih belum pulih dari terpaan bencana alam akibat degradasi hutan. Kerusakan dengan percepatan 2,8 juta hektar per tahun–merupakan yang tercepat di dunia - yang telah menyebabkan rusaknya 59 juta hektar hutan di Indonesia disinyalir banyak pihak sebagai penyebabnya. Tahun 2006 yang lalu dihiasi oleh banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan di mana-mana; mengakibatkan ribuan korban jiwa dan tumbangnya sektor ekonomi. "Pemerintah harus melihat degradasi hutan Indonesia yang mengakibatkan bencana alam sebagai sebuah keadaan darurat negara yang harus segera disikapi. Moratorium penebangan hutan harus segera dilakukan, kalau tidak maka bencana ini akan terus-menerus terjadi di Indonesia setiap tahunnya. Kerusakan hutan harus dihentikan segera!", tambah Hapsoro.

Meskipun Greenpeace mendukung penggunaan bio-fuel dan menyadari peranannya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, Greenpeace menekankan bahwa hal tersebut terbatas hanya bagi yang benar-benar diproduksi sesuai dengan kerangka pertanian berkelanjutan, tidak secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan kerusakan ekosistem yang masih utuh, serta tidak menghalangi upaya suatu negara untuk mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan.

0 komentar:

Posting Komentar